DEMOKRASI DAN HAM
1.1
Pengertian Demokrasi
Isitilah
“demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad
ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak
negara. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan
rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri
dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah
prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan
berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga
jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif
dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki
kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan
legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan
bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan
peraturan.
Selain
pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya
pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan
umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warga negara, namun oleh
sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum.
Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak
pilih).
Kedaulatan
rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden
atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih
luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung
tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat
memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak
kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu
pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir
lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola,
bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal
sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek
daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.
Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah
melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan
kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Demokrasi
menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara
(umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias
politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus
digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias
politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta
sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata
tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan
absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia.
Demikian
pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan
tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan
membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus
akuntabel (accountable), tetapi harus
ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara
dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut.
Menurut
Abraham Lincoln (Presiden AS ke-16), demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh
dan untuk rakyat (Democracy is government
of the people, by the people and for the people). Azas-azas pokok demokrasi
dalam suatu pemerintahan demokratis adalah:
a.
pengakuan partisipasi rakyat
dalam pemerintahan, misalnya melalui pemilihan wakil-wakil rakyat untuk
parlemen secara bebas dan rahasia; dan
b.
pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak azasi manusia.
1.2 Ciri-Ciri Pokok Pemerintahan Demokrasi
a. Pemerintahan berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat banyak, dengan
ciri-ciri tambahan:
o konstitusional, yaitu bahwa prinsip-prinsip kekuasaan, kehendak
dan kepentingan rakyat diatur dan ditetapkan dalam konstitusi
o perwakilan, yaitu bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat diwakilkan
kepada beberapa orang
o pemilihan umum, yaitu kegiatan politik untuk memilih
anggota-anggota parlemen
o kepartaian, yaitu bahwa partai politik adalah media atau sarana
antara dalam praktik pelaksanaan demokrasi
b.
Adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan, misalnya pembagian/ pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
c.
Adanya tanggung jawab dari
pelaksana kegiatan pemerintahan.
1.3 Macam-Macam Demokrasi
1. Demokrasi ditinjau dari cara penyaluran kehendak rakyat:
a. Demokrasi langsung
Dipraktikkan
di negara-negara kota (polis, city state)
pada zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, seluruh rakyat dapat menyampaikan
aspirasi dan pandangannya secara langsung. Dengan demikian, pemerintah dapat
mengetahui – secara langsung pula – aspirasi dan persoalan-persoalan yang
sebenarnya dihadapi masyarakat. Tetapi dalam zaman modern, demokrasi langsung
sulit dilaksanakan karena:
1)
sulitnya mencari tempat yang
dapat menampung seluruh rakyat sekaligus dalam membicarakan suatu urusan
2)
tidak setiap orang memahami
persoalan-persoalan negara yang semakin rumit dan kompleks
3)
musyawarah tidak akan
efektif, sehingga sulit menghasilkan keputusan yang baik.
b. Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan
Sistem
demokrasi (menggantikan demokrasi langsung) yang dalam menyalurkan kehendaknya,
rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk dalam parlemen. Aspirasi rakyat
disampaikan melalui wakil-wakil mereka dalam parlemen. Tipe demokrasi
perwakilan berlainan menurut konstitusi negara masing-masing. Sistem pemilihan
ada dua macam, yaitu: pemilihan secara langsung dan pemilihan bertingkat. Pada
pemilihan secara langsung, setiap warga negara yang berhak secara langsung
memilih orang-orang yang akan duduk di parlemen. Sedangkan pada pemilihan
bertingkat, yang dipilih rakyat adalah orang-orang di lingkungan mereka
sendiri, kemudian orang-orang yang terpilih itu memilih anggota-anggota
parlemen.
c. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum
Dalam
sistem demokrasi ini rakyat memilih para wakil mereka untuk duduk di parlemen,
tetapi parlemen tetap dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem referendum
(pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara langsung). Sistem ini
digunakan di salah satu negara bagian Swiss yang disebut Kanton.
1.4 Demokrasi Ditinjau Dari Titik Berat Perhatiannya
a. Demokrasi Formal (Demokrasi Liberal)
Demokrasi
formal menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik tanpa disertai upaya
untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan rakyat dalam bidang ekonomi.
Dalam sistem demokrasi yang demikian, semua orang dianggap memiliki derajat dan
hak yang sama. Namun karena kesamaan itu, penerapan azas free fight competition (persaingan bebas) dalam bidang ekonomi
menyebabkan kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin kian lebar.
Kepentingan umum pun diabaikan.
Demokrasi formal/ liberal sering pula disebut demokrasi Barat
karena pada umumnya dipraktikkan oleh negara-negara Barat. Kaum komunis bahkan
menyebutnya demokrasi kapitalis karena dalam pelaksanaannya kaum kapitalis
selalu dimenangkan oleh pengaruh uang (money
politics) yang menguasai opini masyarakat (public opinion).
b. Demokrasi Material (Demokrasi Rakyat)
Demokrasi
material menitikberatkan upaya-upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang
ekonomi sehingga persamaan dalam persamaan hak dalam bidang politik kurang
diperhatikan, bahkan mudah dihilangkan. Untuk mengurangi perbedaan dalam bidang
ekonomi, partai penguasa (sebagai representasi kekuasaan negara) akan
menjadikan segala sesuatu sebagai milik negara. Hak milik pribadi tidak diakui.
Maka, demi persamaan dalam bidang ekonomi, kebebasan dan hak-hak azasi manusia
di bidang politik diabaikan. Demokrasi material menimbulkan perkosaan rohani
dan spiritual. Demokrasi ini sering disebut demokrasi Timur, karena berkembang
di negara-negara sosialis/ komunis di Timur, seperti Rusia, Cekoslowakia,
Polandia dan Hongaria dengan ciri-ciri:
o sistem satu (mono) partai, yaitu partai komunis (di Rusia);
o sistem otoriter, yaitu otoritas penguasa dapat dipaksakan kepada
rakyat;
o sistem perangkapan pimpinan, yaitu pemimpin partai merangkap
sebagai pemimpin negara/ pemerintahan;
o sistem pemusatan kekuasaan di tangan penguasa tertinggi dalam
negara.
c. Demokrasi Gabungan
Demokrasi
ini mengambil kebaikan dan membuang keburukan demokrasi formal dan material.
Persamaan derajat dan hak setiap orang tetap diakui, tetapi diperlukan
pembatasan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pelaksanaan demokrasi
ini bergantung pada ideologi negara masing-masing sejauh tidak secara jelas
kecenderungannya kepada demokrasi liberal atau demokrasi rakyat.
1.5 Demokrasi Ditinjau Dari
Hubungan Antaralat Perlengkapan Negara
a. Demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer
Demokrasi
sistem parlementer semula lahir di Inggris pada abad XVIII dan dipergunakan
pula di negara-negara Belanda, Belgia, Prancis, dan Indonesia (pada masa UUDS
1950) dengan pelaksanaan yang bervariasi, sesuai dengan konstitusi negara
masing-masing. Negara-negara Barat banyak menggunakan demokrasi parlementer
sesuai dengan masyarakatnya yang cenderung liberal. Ciri khas demokrasi ini
adalah adanya hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan perwakilan
rakyat atau legislatif. Para menteri yang menjalankan kekuasaan eksekutif
diangkat atas usul suara terbanyak dalam sidang parlemen. Mereka wajib
menjalankan tugas penyelenggaraan negara sesuai dengan pedoman atau program
kerja yang telah disetujui oleh parlemen. Selama penyelenggaraan negara oleh
eksekutif disetujui dan didukung oleh parlemen, maka kedudukan eksekutif akan
stabil. Penyimpangan oleh seorang menteri pun dapat menyebabkan parlemen
mengajukan mosi tidak percaya yang menggoyahkan kedudukan eksekutif.
Demokrasi parlementer lebih
cocok diterapkan di negara-negara yang menganut sistem dwipartai: partai
mayoritas akan menjadi partai pendukung pemerintah dan partai minoritas menjadi
oposisi.
Dalam
demokrasi parlementer, terdapat pembagian kekuasaan (distribution of powers) antara badan eksekutif dengan badan
legislatif dan kerja sama di antara keduanya. Sedangkan badan yudikatif
menjalankan kekuasaan peradilan secara bebas, tanpa campur tangan dari badan
eksekutif maupun legislatif.
Kelebihan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
o pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan pemerintah sangat
besar;
o pengawasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dapat berjalan
dengan baik;
o kebijakan politik pemerintah yang dianggap salah oleh rakyat dapat
sekaligus dimintakan pertanggungjawabannya oleh parlemen kepada kabinet;
o mudah mencapai kesesuaian pendapat antara badan eksekutif dan
badan legislatif;
o menteri-menteri yang diangkat merupakan kehendak dari suara terbanyak
di parlemen sehingga secara tidak langsung merupakan kehendak rakyat pula;
o menteri-menteri akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas
karena setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen;
o pemerintah yang dianggap tidak mampu mudah dijatuhkan dan diganti
dengan pemerintah baru yang dianggap sanggup menjalankan pemerintahan yang
sesuai dengan keinginan rakyat.
Kelemahan demokrasi
perwakilan bersistem parlementer:
o
kedudukan badan eksekutif
tidak stabil, karena dapat diberhentikan setiap saat oleh parlemen melalui mosi
tidak percaya;
o sering terjadi pergantian kabinet, sehingga kebijakan politik
negara pun labil;
o karena pergantian eksekutif yang mendadak, eksekutif tidak dapat
menyelesaikan program kerja yang telah disusunnya.
b. Demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan
Demokrasi
ini berpangkal pada teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh para filsuf
bidang politik dan hukum. Pelopornya adalah John Locke (1632-1704) dari
Inggris, yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bidang, yaitu eksekutif,
legislatif dan federatif. Untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan, ketiga bidang itu harus dipisahkan. Charles Secondat Baron de
Labrede et de Montesquieu (1688-1755) asal Prancis, memodifikasi teori Locke
itu dalam teori yang disebut Trias
Politica pada bukunya yang berjudul L’Esprit
des Lois. Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi menjadi: legislatif
(kekuasaan membuat undang-undang), eksekutif (kekuasaan melaksanakan
undang-undang) dan yudikatif (kekuasaan mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan
perselisihan antarlembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang).
Ketiga cabang kekuasaan itu harus dipisahkan, baik organ/ lembaganya maupun
fungsinya.
Teori Montesquieu disebut teori pemisahan kekuasaan (separation du puvoir) dan dijalankan
hampir sepenuhnya di Amerika Serikat. Di negara itu, kekuasaan legislatif
dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif oleh Presiden dan kekuasaan
yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga badan tersebut berdiri terpisah dari yang
lainnya untuk menjaga keseimbangan dan mencegah jangan sampai kekuasaan salah
satu badan menjadi terlampau besar. Kesederajatan itu menjadikan ketiganya
dapat berperan saling mengawasi (check
and balance).
Kelebihan demokrasi
perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
o
pemerintah selama masa
jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, sehingga pemerintahan dapat
berlangsung relatif stabil
o pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan programnya
tanpa terganggu oleh adanya krisis kabinet
o sistem check and balance
dapat menghindari pertumbuhan kekuasaan yang terlampau besar pada setiap badan
o mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut (terpusat pada satu
orang).
Kelemahan demokrasi
perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
o
pengawasan rakyat terhadap
pemerintah kurang berpengaruh
o pengaruh rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang mendapat
perhatian
o pada umumnya keputusan yang diambil merupakan hasil negosiasi
antara badan legislatif dan eksekutif sehingga keputusan tidak tegas
o proses pengambilan keputusan memakan waktu yang lama.
c. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum
Demokrasi
ini merupakan gabungan antara demokrasi perwakilan dengan demokrasi langsung.
Dalam negara yang menganut demokrasi ini parlemen tetap ada, tetapi kinerjanya
dikontrol secara langsung oleh rakyat melalui referendum. Jadi, ciri khas
demokrasi perwakilan dengan sistem referendum adalah bahwa tugas-tugas
legislatif selalu berada di bawah pengawasan seluruh rakyat karena dalam
hal-hal tertentu, keputusan parlemen tidak dapat diberlakukan tanpa persetujuan
rakyat. Sedangkan mengenai hal lain, keputusan parlemen dapat langsung
diberlakukan sepanjang rakyat menerimanya.
Ada dua macam referendum, yaitu referendum obligator dan referendum
fakultatif. Referendum obligator adalah pemungutan suara rakyat yang wajib
dilaksanakan mengenai suatu rencana konstitusional. Referendum ini bersifat
wajib karena menyangkut masalah penting, misalnya tentang perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan
referendum fakultatif merupakan pemungutan suara rakyat yang tidak bersifat
wajib dilakukan mengenai suatu rencana konstitusional. Referendum fakultatif
baru perlu dilakukan apabila dalam waktu tertentu setelah undang-undang
diumumkan pemberlakuannya, sejumlah rakyat meminta diadakan referendum.
Kelebihan demokrasi
perwakilan dengan sistem referendum:
o
apabila terjadi pertentangan
antara badan organisasi negara, maka persoalan itu dapat diserahkan
keputusannya kepada rakyat tanpa melalui partai.
o adanya kebebasan anggota parlemen dalam menentukan pilihannya,
sehingga pendapatnya tidak harus sama dengan pendapat partai/ golongannya.
Kelemahan demokrasi
perwakilan dengan sistem referendum:
o
pembuatan undang-undang/
peraturan relatif lebih lambat dan sulit;
o pada umumnya rakyat kebanyakan tidak berpengetahuan cukup untuk
menilai atau menguji kualitas produk undang-undang.
1.6 Prinsip-Prinsip Demokrasi
a. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
b.
Tingkat persamaan
(kesetaraan) tertentu antara warga negara.
c.
Tingkat kebebasan atau
kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negara.
d. Penghormatan terhadap supremasi hukum.
Prinsip demokrasi yang didasarkan pada konsep
di atas (rule of law), antara lain
sebagai berikut :
a.
Tidak adanya kekuasaan yang
sewenang-wenang
b.
Kedudukan yang sama dalam
hukum
c.
Terjaminnya hak asasi
manusia oleh undang-undang
1.7 Demokrasi di Indonesia
Bisa
dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan
Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi.
Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto,
keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi
negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih
diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa
pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan
ekonomi. Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yag tidak
banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional
Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan
tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga
menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di
Asia yang demokratis dan makmur.
Meski pada
awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya
demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus
berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan
berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga
pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan
yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat
membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan.
Sementara
itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyebutkan bahwa
demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil
melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara
berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi.
Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga
demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut
tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan
kekayaan hanya pada elit tertentu.
1.8 Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia (Masa Orde Lama, Orde Baru,
dan Orde Reformasi)
Perkembangan
demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu
:
1. Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi
pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer
ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini
kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan
dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok
diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan
bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala
negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan.
2. Periode 1959-1965 (Orde Lama)
Demokrasi
Terpimpin Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin
menempatkan Soekarno sebagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia
dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang
besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap
nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada
diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance
dari legislatif terhadap eksekutif.
3. Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri
demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi
pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis,
dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli
Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi
dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai
politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik,
masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga
nonpemerintah
4. Periode 1998-sekarang( Reformasi )
Orde
reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J.
Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi
kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. . Bergulirnya reformasi
yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi
demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis
karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun.
2.1 Pengertian HAM (Hak Asasi Manusia)
Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan
kodratnya (Kaelan: 2002). Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB),
dalam Teaching Human Rights, United
Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak
yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia.
John Locke
menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994). Dalam pasal 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2.2 Ciri Pokok Hakikat HAM
Berdasarkan
beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri
pokok hakikat HAM yaitu:
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah
bagian dari manusia secara otomatis.
b.
HAM berlaku untuk semua
orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau
asal-usul sosial dan bangsa.
c.
HAM tidak bisa dilanggar.
Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain.
Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak
melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
2.3 Macam-Macam Hak Asasi Manusia
1. Hak asasi pribadi (personal
right) contohnya:
o Hak mengemukakan pendapat
o Hak memeluk agama
o Hak beribadah
o Hak kebebasan berorganisasi/berserikat
2.
Hak asasi ekonomi (property right) contohnya :
o Hak memiliki sesuatu
o Hak membeli dan menjual
o Hak mengadakan suatu perjanjian kontrak
o Hak memilih pekerjaan
3.
Hak asasi untuk mendapatkan
pengayoman dan perlakuan yang sama dalam
keadilan hukum dan pemerintahan(right of legal equality) contohnya :
o Hak persamaan hukum
o Hak asas praduga tak bersalah
o Hak untuk diakui sebagai WNI
o Hak ikut serta dalam pemerintahan
o Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu
o Hak mendirikan partai politik
4.
Hak asasi politik(political right)
o Hak untuk diakui sebagai WNI
o Hak ikut serta dalam pemerintahan
o Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu
o Hak mendirikan partai politik
5.
Hak asasi sosial dan budaya(social and cultural right)
o Hak untuk memilih pendidikan
o Hak mendapat pelayanan kesehatan
o Hak mengembangkan kebudayaan
2.3 Perkembangan Pemikiran HAM
Perkembangan
Pemikiran HAM dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
1.
Generasi pertama berpendapat
bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus
pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh
dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme
dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan
sesuatu tertib hukum yang baru.
2.
Generasi kedua pemikiran HAM
tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik
dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian
konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis
kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak
sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
3.
Generasi ketiga sebagai
reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya
kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu
keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam
pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami
ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti
pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan
sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang
dilanggar.
4.
Generasi keempat yang
mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang
terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti
diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang
dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan
memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori
oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi
hak asasi manusia yang disebut Declaration
of the basic Duties of Asia People and Government.
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1. Magna Charta
Pada
umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa
dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa
raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum,
tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka
hukum(Mansyur Effendi,1994).
2. The American declaration
Perkembangan
HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The
American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan
Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam
perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
3. The French declaration
Selanjutnya,
pada tahun 1789 lahirlah The French
Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih
dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The
Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa
alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap,
kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
4. The Four Freedom
Ada empat
hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama
dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari
kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan
yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang
meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada
dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain (
Mansyur Effendi,1994).
2.4 Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
Pemikiran
HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij
adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama
hak kemerdekaan. Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia
telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1.
Periode 18 Agustus 1945
sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
2.
Periode 27 Desember 1949
sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
3.
Periode 17 Agustus sampai 5
Juli 1959, berlaku UUD 1950
4.
Periode 5 Juli 1959 sampai
sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
3.1 Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Dalam
pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dijelaskan bahwa negara Indonesia yang
dicita-citakan dan hendak dibangun adalah negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi. HAM adalah salah satu tiang yang
sangat penting untuk menopang terbangun tegaknya sebuah Negara demokrasi. Sesuai
dengan jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan hendak
dibangunnya negara demokrasi tersebut, maka UUD 1945 mengimplementasikan ke
dalam pasal-pasalnya tentang hak-hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sejak awal
mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk menjunjung tinggi HAM, oleh karena
itu bangsa Indonesia selalu berusaha untuk menegakkannya sejalan dan selaras
dengan falsafah bangsa Pancasila dan perkembangan atau dinamika jamannya.
Pembukaan
UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan piagam HAM
pertama Indonesia yang lahir lebih dahulu dibanding pernyataan HAM sedunia oleh
PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Komitmen kuat tentan HAM sebagaimana tertuang
dalam pembukaan UUD 1945 kemudian dijabarkan ke dalam pasal-pasal atau batang
tubuh UUD 1945. Diantaranya terdapat dalam beberapa pasal yakni pasal 28A
sampai pasal 28 J. Namun dengan adanya berbagai pelanggaran HAM yang begitu
banyak, maka dipandang belum cukup apabila tentang HAM hanya sebagai mana
tercantum dalam piagam HAM yang ada selama ini. Untuk itu perlu adanya
ketetapan MPR yang khusus memuat tentang HAM. Tap MPR yang dimaksudkan sebagai
HAM terbaru itu adalah ketetapan No. XVII/MPR/1998. Selain itu juga
terbentuknya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia merupakan salah
satu bentuk perkembangan dari pengakuan HAM di Indonesia.
Lahirnya
ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 dimaksudkan untuk memperkuat dan memantapkan
komitmen bangsa akan pentingnya perlindungan HAM sebagaimana telah diatur dalam
Pembukaan dan UUD 1945, oleh karena itu Tap tersebut menegaskan bahwa:
1.
Menugaskan kepada
Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah untuk
menghormati, mengakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia
kepada seluruh masyarakat.
2.
Menugaskan kepada Presiden
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk
meratifikasi berbagai instrument Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak asasi
manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
3.
Penghormatan, pengakan dan
penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan
kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggungjawab sebagai warga Negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4.
Pelaksanaan penyuluhan,
pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia,
dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia yang ditetapkan oleh
Undang-undang.