BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang Masalah
Desa dalam pengertian umum adalah permukiman manusia di luar
kota yang penduduknya berjiwa agraris. Dalam keseharian disebut kampung,
sehingga ada istilah pulang ke kampung atau kampung halaman. Desa adalah bentuk
kesatuan administratif yang disebut kelurahan. Lurahnya kepala desa. Dalam
lingkup kota yang dipenuhi pertokoan, pasar dan deretan kios, juga ada desa,
seperti desa Kalicacing di kota Salatiga.
Desa di luar kota
dengan lingkungan fisisbiotisnya, adalah gabungan dukuh. Dukuh mewujudkan unit
geografis yang tersebar seperti pulau di tengah persawahan atau hutan.Dukuh di
Jawa Barat disebut kampung. Gampong di Aceh, huta di Tapanuli, nagari di
Sumatera Barat, marga di Sumatera Selatan, wanus di Sulawesi Utara, dan dusun
dati di Maluku. Desa menurut definisi Bintarto, adalah perwujudan geografis
yang ditimbulkan oleh unsur2 geografis, sosial, ekonomi, politik dan kultural
yang ada di sana dalam hubungannya dan pengaruh timbal balik dengan
daerah-daerah lain.
Desa, dalam definisi lainnya, adalah suatu tempat daerah di
mana penduduk berkumpul dan hidup bersama, menggunakan lingkungan setempat,
untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan kehidupan mereka. Desa
adalah pola permukiman yang bersifat dinamis, di mana para penghuninya
senantiasa melakukan adaptasi spasial dan ekologis sederap kegiatannya
berpangupajiwa agraris. Desa dalam arti administratif, menurut Sutardjo
Kartohadikusumo, adalah suatu kesatuan hukum di mana sekelompok masyarakat
bertempat tinggal dan mengadakan pemerintahan sendiri. Untuk lebih memahami
bagaimana keadaan desa lebih mendetil maka perlu kita mengkaji bentu-bentuk dan
pola desa serta disekitar kita.
1.2.Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang diatas bias memunculkan beberapa pertanyaan yang penting un tuk
dibahas diantaranya :
1. Apakah
definisi dari desa ?
2. Bagaimanakah
bentuk-bentuk desa ?
3. Faktor
apa saja yang mempengaruhi bentuk-bentuk suatu desa ?
4. Klasifikasi
pola-pola desa apa sajakah yang dikemukakan oleh R Bintarto ?
5. Bagaimanakah
ciri-ciri pola desa tersebut ?
1.3.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
definisi dari desa secara umum dan secara harfiah.
2. Memberikan
pengetahuan tentang bentuk-bentuk desa yang ada dilingkungan kita.
3. Mengetahui
faktor yang menyebabkan terbentuknya pengelompokan bentuk desa.
4. Mengemukakan
pola-pola desa menurut pendapat R Bintarto.
5. Mengetahui ciri-ciri khusus tentang suatu pola
desa.
BAB
II
PEMBAHASAN
Bentuk-bentuk
desa bertalian erat dengan usaha
pengembangan dan penggalian sumber dayanya secara optimal. Dengan cara bijaksana,
perkembangan permukiman harus direncanakan secara khusus, sehingga terjamin
wajah permukiman yang baik dan menguntungkan. Di samping bentuk desa, Bintarto
menyatakan ada 6 pola desa: memanjang jalan, memanjang sungai, radial,
tersebar, memanjang pantai, memanjang pantai dan sejajar jalan kereta api.
Daerah Bantul, Yogyakarta merupakan line
village (pola desa memanjang jalan
). Permukiman di sekitar Gunung Slamet dan sungai di lerengnya membentuk desa
berpola radial. Pola desa di daerah karst Gunung Kidul, Yogyakarta adalah
tersebar. Permukiman di daerah Rengas Dengklok, Jawa Barat dan Tegal membentuk
desa berpola memanjang ( desa nelayan ) dan sejajar rel kereta api.
2.1. Bentuk-Bentuk Desa
Bentuk- bentuk desa secara sederhana dapat dikemukakan sebagai
beikut :
a.
Bentuk Desa Menyusur Sepanjang
Pantai
Didaerah pantai yang landai dapat tumbuh suatu permukiman,
yang mata pencarian penduduknya dibidang perikanan, perkebunan kelapa, dan
perdagangan. Jika desa pantai seperti itu berkembang, maka tempat tinggal
meluas dengan cara menyambung yang lama dengan menyusur pantai, sampai bertemu
dengan desa pantai lainnya.
Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat
profil desa pantai mencirikan keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun
temurun. Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan
desa pantai. Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana
produksi, proses produksi, penenganan pasca panen dan pengolahan serta
pemasaran produksi. Kondisi hidrooceaografi dan sosial ekonomi Desa Batunampar
mendukung untuk pengembangan budidaya laut. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat telah melakukan pengkajian budidaya laut
di desa Batunampar yang meliputi budidya rumput laut, budidaya kerapu dan
lobster
Hasil pengkajian menunjukan
bahwa potensi sumberdaya budiaya laut sangat baik dan perlu untuk dikembangkan.
Budiaya kerapu dalam karamba diharapkan menjadi fokus utama dalam pengembangan
desa Batunampar dengan didukung oleh penyediaan pakan alami berupa ikan rucah
dan pemasaran maupun penyediaan benih yang kontinyu dan berkualitas.
Upaya pengembangan desa pantai
bertolak dari pemikiran bahwa mensejahterakan masyarakat pantai bukanlah
tanggung jawab satu instansi saja melainkan tanggung jawab berbagai instansi
dan lembaga dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan desa
pantai berarti pengembangan yang terpadu dari berbagai instansi/lembaga dan
masyarakat itu sendiri secara terpadu dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda
tetapi menuju pada satu tujuan yaitu masyarakat pantai yang sejahtera. Bertolak
pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk desa pantai adalah nelayan kecil
maka pengembangan desa pantai adalah pengembangan masyarakat perikanan dengan
didukung sektor lain.
Agribisnis perikanan merupakan
suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa pantai. Agribisnis merupakan
kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi,
penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Penerapan
agribisnis secara utuh dan terpadu mengakibatkan produk dapat dipasarkan dengan
baik sehingga nelayan dan pembudidaya ikan mendapatkan imbalan yang
sebesar-besarnya.
Dalam pengembangan desa
pantai, pemanfaatan sumberdaya harus dirancang secara optimal dan berkelanjutan.
Pengelolaan yang baik dan bijaksana akan berdampak pada kelestarian dan
keberlanjutan sumberdaya alam sebagai faktor utama pendukung produksi perikanan
pesisir. Sebaliknya pengelolaan yang ceroboh dan gegabah akan mengakibatkan
kerusakan sumberdaya alam yang pada akhirnya daya dukungnya pada produksi
perikanan pesisir akan menurun.
Propinsi Nusa Tenggara Barat
yang memiliki luas wilayah peraian laut (perairan pantai dan lepas pantai)
mencapai 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km mempunyai potensi
yang bagus untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung.
Potensi areal untuk budidaya kerapu di NTB adalah 1.445 ha dengan 1.200 ha
berada di Sumbawa. Dari potensi areal tesebut baru dapat dimanfaatkan 11 ha di
Kab. Lombok timur dan 0,05 ha di Kab. Bima (Anonimous, 2002).
b.
Bentuk Desa Terpusat
Pola keruangan desa yang
terpusat terdapat didaerah pergunungan. Pola pusat diojumpai pada suatu desa
yang permukiman penduduknya berdekatan antara yang satu dengan yang lain dan
membentuk suatu kelompok besar. Faktor yang mempengaruhi pola memusat antara
lain :
1. Daerah yang memiliki tanah yang subur dan
dapat mengikat permukiman penduduk dalam suatu kelompok.
2. Daerah dataran rendah yang luas.
3. Daearah dengan permukaan air tanah yang
dalam sehingga pembuatan sumur sulit karena memakan waktu dan biaya.
4. Daerah yang keamanannya belum terjamin
dari berbagai gangguan, baik dari kelompok lain maupun binatang buas.
Penduduk umumnya terdiri atas
mereka yang seketurunan ; pemusatan tempat tinggal tersebut didorong oleh
kegotongroyongan mereka; jika jumlah penduduk kemudian bertambah lalu pemekaran
desa pegunungan itu mengarah kesegala jurusan, tanpa adanya rencana. Sementara
itu pusat-pusat kegiatan penduduk pun dapat bergeser mengikuti pemekaran.
c.
Bentuk Desa Linear Di Daratan Rendah
Pemukiman penduduk didataran
rendah umumnya memanjang sejajar dengan rentangan jalan raya yang menembus desa
yang bersangkutan. Jika kemudian secara wajar artinya tanpa direncanakan desa
mekar, tanah pertanian diluar desa sepanjang jalan desa menjadi pemukiman baru
memang ada kalanya juga pemekaran kearah pedalaman sebelah menyebelah jalan
raya. Maka harus dibuatkan jalan baru mengelilingi desa, jadi semacam ring road
dengan maksud agar kawasan pemukiman baru tak terpencil.
d.
Bentuk Desa yang Mengelilingi Fasilitas
Tertentu
Jenis ini juga terdapat
didataran rendah. Yang dimaksudkan denagn fasilitas misalnya mata air, waduk,
lapangan terbang, dan lain-lain. Arah pemekarannya dapat kesegala jurusan,
sedang fasilitas-fasilitas untuk industri kecil dapat disebarkan dimana-mana sesuai
dengan keinginan setempat.
Bentuk-bentuk desa seperti
diuraikan diatas bertalian erat dengan usaha pengembangan dan penggalian sumber
dayanya secara optimal. Dengan cara yang bijaksana perkembangan pemukiman dalam
arti pemekarannya juga harus direncanakan secara khusus, sehingga terjamin
wajah pemukiman yang baik dalam arti yang menguntungkan.
2.2.
Pola-pola Desa
Menurut Bintarto ada 6 pola desa dikemukakan yaitu
:
1. Memanjang jalan : Susunan desanya
mengikuti jalur-jalur jalan dan sungai. Contohnya terdapat didaerah Bantul,
Jokyakarta
2. Memanjang sungai : Susunan desanya
mengikuti jalur-jalur jalan dan sungai. Contohnya terdapat didaerah Bantul,
yogyakarta
3. Radial : Pola desa ini berbentuk radial
terhadap gunung dan memanjang sepanjang sungai dilereng gunung
4. Tersebar : Pola desa didaerah gunung kidul
– yogyakarta merupakan nucleus yang berdiri sendiri.
5. Memanjang pantai : Didaerah pantai susunan
desa nelayan berbentuk memanjang sepanjang pantai.
6. Sejajar jalan kereta api.
Di Pakistan, geograf Misra merincinya lebih lengkap lagi
menjadi 14 pola desa, yaitu :
1.
Segi
empat memanjang ( rectangular ) ; tipe paling umum karena bentuk lahan
pertaniannya. Kekompakan desa membutuhkan letak rumah yang saling berdekatan,
karena tak ada tembok keliling yang mengamankannya. Pola segi 4 cocok bagi
permukiman berkelompok.
- Bujur
sangkar ( square ) ; tipe ini muncul di persilangan jalan, juga di
permukiman bentuk segi 4 panjang yang terbagi 4 kelompok.
- Bujur
sangkar ( 4 square )
- Desa
memanjang ( elongated 1 ) ; kondisi alam dan budaya setempat telah
membatasi pemekaran desa ke arah-arah tertentu sehingga terpaksa
memanjangkan diri.
- Desa
memanjang ( elongated 2 )
penjelasannya sama seperti diatas.
- Desa
melingkar ( circular ) ; bentuk ini diwarisi ketika tanah masih
kosong. Desa dibangun di atas urugan tanah, sehingga dari luar nampak
seperti benteng dengan lubang untuk keluar masuk.
- Tipe
beruji ( radial plan ) ; jika pusat desa berpengaruh besar atas
perumahan penduduk, maka tercapai bentuk beruji. Pengaruh tersebut berasal
dari istana bangsawan, rumah ibadah atau pasar.
- Desa
poligonal ; karena desa tak pernah dibangun menurut rencana tertentu, maka
nampak bentuk2 luar yang beragam. Bentuk ini antara melingkar dan segi
empat panjang.
- Pola
tapal kuda ( horse shoe ) ; dihasilkan oleh sebuah gundukan, bukit
atau lembah, sehingga pola desa menjadi setengah melingkar.
- Tak
teratur ( irregular ) : desa yang masing-masing rumahnya tak karuan
alang ujurnya.
- Inti
rangkap ( double nucleus ) ; desa kembar hasil pertemuan-pertemuen permukiman yang saling mendekat,
misalnya akibat lokasi stasiun kereta api di antara keduanya.
- Pola
kipas ; ( Fan-pattern ) tumbuh dari pusat yang letaknya di salah
satu ujung permukiman, dari situ jalan raya menuju ke segala arah.
- Desa
pinggir jalan raya ( street ) ; desa ini memanjang sepanjang jalan
raya, pasar berada di tengah, jalan kereta api menyusuri jalan raya tsb.
- Desa
bulat telur ( oval ) ; sengaja dibuat menurut rencana demikian.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan antara
lain :
1. Bintarto menyatakan ada 6 pola desa: memanjang
jalan, memanjang sungai, radial, tersebar, memanjang pantai, memanjang pantai
dan sejajar jalan kereta api.
2. Didaerah pantai yang landai dapat
tumbuh suatu permukiman, yang mata pencarian penduduknya dibidang perikanan,
perkebunan kelapa, dan perdagangan
3. Pola keruangan desa yang terpusat terdapat didaerah
pergunungan. Pola pusat dijumpai pada suatu desa yang permukiman penduduknya
berdekatan antara yang satu dengan yang lain.
4. Pemukiman penduduk didataran rendah umumnya memanjang
sejajar dengan rentangan jalan raya yang menembus desa yang bersangkutan.
5. Jenis ini juga terdapat didataran rendah. Yang
dimaksudkan denagn fasilitas misalnya mata air, waduk, lapangan terbang, dan
lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Mansur,
Y. M. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: Pustaka Graika Kita.
Rapoport,
A. 1993. Development, Culture, Change and Supportive Design. USA: University of
Wisconsin-Milwaukee.
Sasongko, I. 2002. Transformasi Struktur Ruang pada
Permukiman Sasak, Kasus: Permukiman Desa Puyung. Jurnal ASPI. 2
(1):117-125.
Soekanto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar.
Cetakan ke-35, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Daldjoeni,
N. 2003. Geografi Kota dan Desa. Bandung: P.T. Alumni.
Soeroto,
M. 2003. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.