KETIKA BANYAK TULISAN BELUM MAMPU MEMUASKAN SYAHWAT MEMBACAMU, MAKA MENULISLAH DENGAN JALAN FIKIRANMU

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 21 Maret 2014

PUISI: SEPERTIGA MALAM

Sepertiga Malam

Masihkan terlalu dini mengucap pagi?
Saat banyak mata sudah terpejam
Pun terlalu ramai yang masih terjaga

Ayam tertidur dengan caranya yang kadang kala terbangun dan tidur kembali
Sementara musang menjadi pejuang dalam momennya sendiri; mencari mangsa, mengisi perut, berpetualang menikmati alam

Alam yang oleh kita sudah malam
Gelap mencabik pekat
Hitam dibawah bayang remang lampion Tuhan; bulan

Adakah penikmat sepertiga malam?
Merajut romantisme dengan sang maha
Dalam kusyuknya sembah sujud sang hamba
Mengadu, mengiba, bermunajat dalam rima doa-doa cinta
Larut dalam syahdunya ibadah
Bermuhasabah atas segala khilaf dan dosa
Tahajud, momen manis merangkai kasih dengan-Nya

Lalu sebahagian lainnya sibuk bermimpi buruk
Merajam tidur, dibuai setan
Sampai pada tingkat berperangai musang diwarung kopi

Cerita sepertiga malam hadir dalam ragam macam rupa, entahlah!

Lantas kita bertanya; dimanakah posisi kita kala sepertiga malam itu hadir?
Menjadi pecuri, dibuai setan, menjadi musang, atau sibuk bercengkrama di warung kopi terperdaya wifi gratis tanpa alasan?

Matahari terbit lagi, dan kita terus saja terbuai candu duniawi
Lupa diri
Berpaling dari sang maha agung; ilahi rabbi


Follow: 
On Facebook: Ichsan Maulana Icm
On Twitter: Ichsan Maulana Icm (@IchsanM_icm)

PUISI: KEPADA ALAM

ALAM KINI


Duhai alam pemilik tubuh nan eksotik
Di dadamu kami bergemuruh
Meraung mengiba panas terik matamu; matahari
Yang mencabik, menikam, melepuhkan kulit-kulit lembut anak adam

Padamu alam nan romantis
Pagi kau sapa kami dengan kesejukan
Siang kau rajam kami dengan terik tak berperi
Sampai malam yang sejatinya dingin sebagai peristirahatanpun
Jua belum tentu menyejukkan

Tuhan? Bukan salahmu
Salah kami manusia yang tak tau bagaimana mensyukuri
Di alam-Mu kami bertari, berdendang, bergoyan dosa-dosa
Hutan-hutan tergunduli, gunung-gunung terkeruk, lautan tertambalkan
Hanya sebab entah
Bisikan setan, kepentigan sesaat
Katanya pembangunan kesejahteraan
Padahal modus kepentigan
Tak lebih dari buih kemunafikan
Bahwa kami (manusia) sedang mendewa-dewikan 'proyek'

Apa kabar kutub utara? Antartika? Kutub selatan
Bongkahan es yang saban waktu kian mencair
Memuai sebab cuaca extrim undagan kami
Pada lelehan, patahan-patahan es kalian menagis
Meraung-raung!
Siapa peduli?
Manusia seakan tuli

Sampai pinguin mati sendiri
Ia pergi tak tau sebab entah mengapa


Oh alam, nasibmu kini.//

Follow: 
On Facebook: Ichsan Maulana Icm
On Twitter: Ichsan Maulana Icm (@IchsanM_icm)

PUISI-PUISI

SENDIRI

Dan kegirangan beringsut dengan sendirinya
Menerawang arahnya sendiri
Beranjak pergi bersama matahari yang lelah menatap hari

Disini, aku sendiri
Mengaduk emosi
Diam dalam kebisuan yang tak bertepi

Sampai kini
Hati ini masih setia pada pilihannya;
Sendiri

Sebab aku menyadari
Bidadari hanya dongeng dan tak mampu datang
Untuk mengaminkan kenyataan



SENJA
Bila senja menyapa
Matahari manyun malu-malu terkulum cakrawala
Di bibir pantai alam menyulam romantismenya
Cerah berubah remang
Kesepian mengundang 1001 tanda tanya
Bila senja menyapa
Birunya langit berganti jingga
Burung-burung terbang sejajar
Menghitung awan yang mulai tak tampak
Bila senja menyapa
Sebuah perpisahan akan hari dan undangan untuk sang gelap; malam
Bila senja menyapa
Alam bisu dalam kedamaian
Sunyi menyepi
Indah tak terkira
Oh senja, hadirmu selalu saja menawan.

AYAH

Tatapanmu adalah bicara
Gerakmu menjadi petuah
Engkau manusia sederhana
Tak banyak berucap
Namun sesekali engkau bertutur ialah petuah
Ayah
Memang surga tidak dibawah kakimu
Namun semulia-mulianya ibu
Dibawah kakimu lah surganya
Lelah dan letihmu nafakah
Cucuran keringatmu ibadah
Sayang, engkau pemilik cinta yang kadang sering terlupakan.



GAMANG

Gamang hatiku tak ubahnya layang-layang
Yang mengambang, tak tetap
Meski sesekali diam
Terombang-ambing tertampar angin
Goyang
Meski meronta-ronta ditiup angin
Gamang hatiku tetap bertahan
Kuat, walau badai menerpa
Sebab aku percaya pada satu keyakinan
Bahwa tali hatiku kau yang pegang
Tali itu bernama cinta
Aku dan kamu tak terpisah
Sebab tali pengikat kedua hati ini adalah cinta
Walau bayang kegamangan selalu saja menerpa
Aku memilih kuat
Bertahan
Pada tulusnya kesetiaan.


MATAMU

Matamu sendu
Mengundang kerinduan
Berbilah rasa-rasa
Sekali tatap hati siapa saja terkulai lemas tak berdaya
Matamu sayu
Menerawang dalam, mengusik lamun
Membangkitkan syahdu
Mengaduk hati, permaikan emosi
Menohok qalbu
Matamu; sesuatu.



KURSI

Apalah arti sebuah kursi
Bila aspirasi tak kujung terealisi
Nurani terkebiri
Janji-janji, bohong urung terpenuhi
Apalah arti sebuah kursi
Bila nilainya hanya takaran materi
Sementara diluar sana betapa banyak manusia meronta terbirit-birit
Di negeri ini
Kursi menjadi primadona yang diperebutkan
Meski harus sikut kiri-kanan
Membunuh sesama
Menghalalkan segala cara
Sementara kesejahteraan hanyalah mimpi bualan
Apalah arti sebuah kursi
Jika diluar sana mereka yang tak beruntung duduk ditanah pada perempatan lampu merah menegadahkan tangan meminta-minta
Bila kekuasaan adalah muaranya
Rakyat jadi pijakan akomodasi menuju kursi
Objek kampaye tak berperi
Keawaman dimantrakan janji-janji mimpi
Kita patut bersorak, berontak sembari bertanya;
Apalah arti sebuah kursi!




KU TAHU KAU JANDA

Matamu tersirat cinta
Dadamu roma syahwat
Kedipan mu membunuh
Likak mu mengajak
Haus di atas dahaga
Jasmani, lebih-lebih batin
Birahi yang telah lama hilang
Terpenjara sebab berpisah
Terpasung akan status.
Ku tau, kau 'Janda'



TOPENG

Sandiwara apa kabar lakon mu?
Betapa topeng di puja
Tirai bak tabing suci
Dan rupanya, mereka lupa
Semuanya pura-pura. 


ESOK HARI

Aku perlahan membiarkan lesu sendu bulan pada temaramnya
Hingga gelap lelah pekat hitamnya
Nanti perlahan-lahan jua kan terang
Sampai bulan tertidur dengan sendirinya

Fajar, menjemput pagi.
Membangunkan matahari
Dan kita; masihkah hidup esok hari?



AKU DAN DOSA

Jangkrik masih bisu di sudut diam
Belalang tidur pulas di tikam malam
Aku? Menghitung puluhan dosa perharinya, bahkan lebih

Bintang beradu mata dengan rembulan
Awan tak tampak tertutupi gelap
Aku? Sendiri membuka buta hati.

Kasur saban gelap setia menunggu setiap melodi ngorok
Bantal, masih saja mau terpelukan oleh si jalang yang ternoda
Aku? Separuh syaitan berhati malaikat.

Ku tunggu pagi, ku dambakan mentari
Adakah amal merekah sejuk? Setelah embun kering lalu pergi
Atau dosa, kering terbakar matahari? 




HATI YANG TERLUPAKAN

Kadang butuh ruang untuk merenggangkan ke-aku-an
Membunuh ego keras kepala
Menjadi lunak dalam batu
Bukan karena ingin menjadi malaikat
Tidak juga pekak sebab setan
Namun betapa ajar untuk dijadikan pelajaran sebagai nuttah sebaik-baiknya manusia

Sentuhlah segumpal daging dalam sepi
Yang saban waktu berdetak kebenaran
Walau kita tuli oleh auman keburukan

Ya, hati!
Penebar benar, pemilik baik

Sering terlupakan




Sekelumit Murka Padamu Nanggroe

Sajak penuh kemarahan untuk Nanggroe impian
Murka akan kesemrautan Nanggroe tersayang
Dalam puisi ku berteriak menggelegar langit hati
Lelah sudah menagih janji
Yang semuanya hanya penyedap kampaye tempo hari
Setelah kau duduki kursi
Nurani, hati, akal sehat, kau dustakan

Rakyat?
Menjadi penonton kemewahan tuan-tuan

Dan janji-janji
Basi, bersama pepesan kosong visi misi
Yang kau mantrakan tempo hari

Ohh.. Nanggroe kami.





CERITA HUJAN

Apa kabar sedih, masihkah berair mata terbasuh hujan?
Gelisah, adakah engkau sendu berawan mendung?
Hanya sebatas penutup luka biar tak basah, lalu menggigil lebih parah diaduk lara?

Dan hujan berhenti, tanpa setitik jawaban
Lalu, apa lagi yang kau ratapi? 



BUNGA DESA

Selagi jingga masih tersunggut malu di bibir pantai
Burung-burung berjejer rapi meraut udara di angkasa
Transportasi riuh makin menjadi-jadi di kejar birit-birit magrib

Rambutmu tergerai damai
Kala kau kibas di udara
Selepas mandi, rona auramu tak mampu mengedipkan mata
Harum mu sirih ranum

Sekali kau senyum, hancurlah hati pemuda sekampung

Ohh.. Bunga desa. 



Kepada-Nya Sang Maha

Ku larung lara, ku kayuh perih
Ke haribaan-Nya yang masa kasih
Ku dayung gamang, ku timang bimbang
Pada-Nya pemilik sebenarnya sayang

Dalam bingung limbung terpincang-pincang
Merangkak tapak kuat berpijak
Meski lara menggorok luka
Sampai mengerti bahwa masih ada hati tempat berdamai

Kerahibaan-Nya yang maha
Apalah kita tiada kuasa
Hanya penikmat dosa
Penggengam salah.




NELAYAN

Di bawah payung-payung senja
Melambai asa bersamaan terbenamnya sang surya di ufuk barat.
Perahu kecil terombang ambing terlihat dari kejauhan
Merapat mndekat dermaga.
Kaulah Nelayan!
Tanpa kaya pun loyalitasmu untuk sang laut terus terpatrikan
Meski nyawamu tak berAsuransikan Tuhan Sebab ini hidup sekali adanya




Karya: Ichsan Maulana

Follow: 
On Facebook: Ichsan Maulana Icm
On Twitter: Ichsan Maulana Icm (@IchsanM_icm)

DAN HUJAN TURUN LAGI


Ku titip seuntai rindu syahdu kepada sesosok pelukis hidup yang pernah hadir mewarnai hari-hariku tempo dulu. Aku dan dia, tak ubahnya bumi dan langit yang disatukan oleh rinai hujan. Hujan kasih sayang, cinta, suka, duka bahkan jua lara. Tak sampai disitu, hujan galau sekalipun adalah suatu keniscayaan yang lapang teratapi. Betapa hati dua insan selalu mendamba kedamaian, layaknya tanah tandus tersiram air hujan, melegakan, sejuk, menohok qalbu, sampai terisak menggigil mencabik tulang-belulang.
Apa kabarmu duhai pemilik hati yang lain, yang pernah sempat singgah merajut kasih.. Kita sudah terlalu lama tak bertemu lagi, pasca keputusan bersama untuk memilih jalan masing-masing. Entah dimana engkau, yang ku tau; ia telah menemukan perahu baru. Sedang mengayuh rasa yang dipapah dan dijaga agar sampai kedermaga persuntingan.
Aku disini masih setia sendiri, bukan perkara ku tunggu-nya, tidak jua ku sesali keputusan masa lalu. Hanya saja, aku sedang bertapa dengan hati yang sepi, mencoba berdamai dengan hati sendiri. Mengaduk emosi dalam kerapuhan yang tak kunjung pasti, ini bukan perkara sebab frustasi, tidak juga sebab keputus asaan, namun terkadang aku menyadari dan sedang mengaminkan, bahwa ada kedamaian dalam kesendirian. Sesekali, ada saja kumbang baru datang menggoda, aku diam saja. Kunang-kunang juga menyapa dengan lampion pesona lainnya, aku juga kekeh tak mengubris keadaan. Ini hanya soal waktu, bukan salah rasa, sebab aku tidak pernah menghukum rasa dan mematikannya. Hanya saja, rasa ini sedang ku erami, kurajut sendiri, sampai rasa itu benar-benar siap untuk sebuah pelabuhan. Sebab aku yakin dan percaya, akan datang saatnya sesosok yang tepat untuk menyempurnakan rasa yang telah lama ku erami. Siapapun itu, hanya Tuhan yang tau. Bisa saja kumbang baru, atau siapa tau; Engkau yang dulu hadir kembali? Pulang ke asal, menjemput rasa ku. Setelah engkau menyadari bahwa yang lain tak pernah bernar mampu tulus mendamaikan hatimu. Sampai bertemu lagi.. Bila tidak sekarang, ya, nanti. Bila engkaupun tak kembali, aku yang akan datang menjadi saksi sakralnya pernikahanmu.
Dan hujan yang tadinya asik menari, pelan dalam kehati-hatiannya, berubah terisak, meraung menangis keras! Merajam tanah, mencabik bumi. Sampai rinainya lelah, lesu terkulai pada genangan-genangan kenangan. Hujan berhenti. Alam diam, syahdu tak menentu. Antara bahagia juga duka, dipersimpangan senyuman; senyum penghormatan, dan senyum kepasrahan.
Berhenti, bukan berati mati. Bisa saja kembali, atau berubah haluan ke lain dermaga. Ah, entahlah.


Nb: Hanya untuk dibaca..