Ku titip seuntai
rindu syahdu kepada sesosok pelukis hidup yang pernah hadir mewarnai
hari-hariku tempo dulu. Aku dan dia, tak ubahnya bumi dan langit yang disatukan
oleh rinai hujan. Hujan kasih sayang, cinta, suka, duka bahkan jua lara. Tak
sampai disitu, hujan galau sekalipun adalah suatu keniscayaan yang lapang
teratapi. Betapa hati dua insan selalu mendamba kedamaian, layaknya tanah
tandus tersiram air hujan, melegakan, sejuk, menohok qalbu, sampai terisak menggigil
mencabik tulang-belulang.
Apa kabarmu duhai
pemilik hati yang lain, yang pernah sempat singgah merajut kasih.. Kita sudah
terlalu lama tak bertemu lagi, pasca keputusan bersama untuk memilih jalan
masing-masing. Entah dimana engkau, yang ku tau; ia telah menemukan perahu
baru. Sedang mengayuh rasa yang dipapah dan dijaga agar sampai kedermaga
persuntingan.
Aku disini masih
setia sendiri, bukan perkara ku tunggu-nya, tidak jua ku sesali keputusan masa
lalu. Hanya saja, aku sedang bertapa dengan hati yang sepi, mencoba berdamai
dengan hati sendiri. Mengaduk emosi dalam kerapuhan yang tak kunjung pasti, ini
bukan perkara sebab frustasi, tidak juga sebab keputus asaan, namun terkadang
aku menyadari dan sedang mengaminkan, bahwa ada kedamaian dalam kesendirian.
Sesekali, ada saja kumbang baru datang menggoda, aku diam saja. Kunang-kunang
juga menyapa dengan lampion pesona lainnya, aku juga kekeh tak mengubris
keadaan. Ini hanya soal waktu, bukan salah rasa, sebab aku tidak pernah
menghukum rasa dan mematikannya. Hanya saja, rasa ini sedang ku erami, kurajut
sendiri, sampai rasa itu benar-benar siap untuk sebuah pelabuhan. Sebab aku
yakin dan percaya, akan datang saatnya sesosok yang tepat untuk menyempurnakan
rasa yang telah lama ku erami. Siapapun itu, hanya Tuhan yang tau. Bisa saja
kumbang baru, atau siapa tau; Engkau yang dulu hadir kembali? Pulang ke asal,
menjemput rasa ku. Setelah engkau menyadari bahwa yang lain tak pernah bernar
mampu tulus mendamaikan hatimu. Sampai bertemu lagi.. Bila tidak sekarang, ya,
nanti. Bila engkaupun tak kembali, aku yang akan datang menjadi saksi sakralnya
pernikahanmu.
Dan hujan yang
tadinya asik menari, pelan dalam kehati-hatiannya, berubah terisak, meraung
menangis keras! Merajam tanah, mencabik bumi. Sampai rinainya lelah, lesu
terkulai pada genangan-genangan kenangan. Hujan berhenti. Alam diam, syahdu tak
menentu. Antara bahagia juga duka, dipersimpangan senyuman; senyum
penghormatan, dan senyum kepasrahan.
Berhenti,
bukan berati mati. Bisa saja kembali, atau berubah haluan ke lain dermaga. Ah,
entahlah.Nb: Hanya untuk dibaca..
0 komentar:
Posting Komentar