KETIKA BANYAK TULISAN BELUM MAMPU MEMUASKAN SYAHWAT MEMBACAMU, MAKA MENULISLAH DENGAN JALAN FIKIRANMU

Jumat, 24 Mei 2013

PENDIDIKAN MENGEMBANGKAN DIMENSI HAKEKAT MANUSIA


BAB  I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang masalah
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika pendidikan memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dengan hewan.
Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan hakekat menusia. Disebut sifat hakekat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidikan terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia dalam bersikap, menyusun startegi, metode dan tekhnik serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi dalam interaksi edukatif.
Sebagai pendidik bangsa Indonesia, kita wajib memiliki kejelasan mengenai hakekat manusia Indonesia seutuhnya. Sehingga dapat dengan tepat menyusun rancangan dan pelaksaaan usaha kependidikannya. Selain itu, seorang pendidik juga harus mampu mengembangkan tiap dimensi hakikat manusia, sebagai pelaksanaan tugas kependidikanya menjadi lebih profesional.
1.2  Rumusan masalah
Dari beberapa uraian latar belakang diatas, dapat diambil beberapa rumusan masalah antara lain:
a)  Apa yang dimaksud dengan sifat hakikat manusia?
b)  Bagaimana wujud sifat hakikat manusia?
c)  Bgaimana pengembangan wujud sifat hakikat manusia?


1.3  Tujuan
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
a)   Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat hakikat manusia.
b)   Untuk mengetahui wujud sifat hakikat manusia.
c)   Untuk memahami pengembangan wujud sifat hakikat manusia






BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Sifat hakekat manusia
1.   Pengertian sifat hakekat manusia
Sifat hakekat manusia diartikan sebagai sifat yang karakteristik, yang secara prinsipal (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari  segi biologisnya.

2.   Wujud sifat hakekat manusia
a.    Kemampuan menyadari diri
Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia.
Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia itu, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini pa menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan Aku-Aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non Aku (lingkungan fisik) disekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya. Baik yang berupa pribadi maupun non pribadi/benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi disekitar, adapun pohon, batu, cuaca, dll merupakan lingkungan non pribadi.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan kedalam.
b.   Kemampuan bereksistensi
Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan individu menempatkan diri dan menerobos serta mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya, yaitu  kemampuan yang berkaitan dengan soal ruang dan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelunggu oleh tempat atau ruang ini (disini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke”masa depan” “ataupun masa lampau”
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembanagkan daya imajinasi kratif sejak dari masa kanak-kanak

c.    Pemilikan kata hati
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, dst
Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikuti perbuatan”.
Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan sedang dan telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.
Dengan sebutan pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah  kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia.

d.   Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.
Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai amnusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur)
Sebaliknya, perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpuldisebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral
Seseorang dikataka bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.

e.    Tanggung jawab
Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati , oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab.

f. Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu) tetapi yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia.

g.   Kewajiban dan hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi). Sebaliknya, kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya.
Pada dasarnya hak itu adalah sesuatu yang masih kosong, artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Dan meskipun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya (misalnya hak cuti tahunan). Namun terlepas dari persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia memenuhinya.

h.   Kemampuan menghayati kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hiup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi sulit untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa bahagia.
Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang mengalami rasa senang atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan
Sebahagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dari sejumlah kesenangan
Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat bahwa kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan dan lain-lain sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu (yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia” .


2.2    Dimensi-dimensi hakekat manusia, Potensi, Keunikan dan Dinamika
1.   Dimensi keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “ orang seorang”, sesuatu yu keutang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide), selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik dimuka bumi, setiap orang memiliki individualitas. Bahkan dua anak kembar yang berasal dari satu telurpun, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya (kerohaniannya).
Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan mengenai matanya. Secara kerohanian mungkin kapasitas intelegensinya sama tetapi kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat dan daya tahan yang berbeda.

2.   Dimensi kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat  saling berkomunikasi yang pada hakekatnya didalamnya terkandung unsure saling member dan menerima. Bahkan menurut langeveld, adanya kesediaan untuk saling member dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan. Adanya dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala pada masa bayi.
Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang. Kemudian sebagai balasan ia dapat memberikan senyuman pada lingkungannya, khususnya pada ibunya. Kelak jika sudah dewasa, dan menduduki status atau pekerjaan tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari memberi.

3.   Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su + sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika didalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih.
Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dst, sehingga oleh karena itu Penjenja diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.

4.   Dimensi keberagaman
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat inderanya diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup di alam semesta ini.
Beragama merupakan kebutuhan manusia, karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi untuk keselamatan hidupnya. Agama menjadi sandaran vertical manusia, manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua, dalam lingkungan keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan efektif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpencar dari ketulusan dan kesungguhan hati orang tua dan menembus kata anak. Dalam hal ini orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik, karena ada hubungan darah dengan anak. Pendidikan agama yang diberikan secara massal kurang sesuai. Pendapat kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari  segi kualitas hubungan antara pendidik dengan peserta didik.
Disamping itu juga penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragama harus dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habitat formation). Tetapi untuk pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang tua. Untuk itu pengkajian agama secara massal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.

2.3     Pengembangan Dimensi Hakekat Manusia
Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakekat manusia menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakekat manusia, tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau “ aktualisasi”. Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan  untuk berperan  dalam memberikan jasanya.
Setiap manusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu dorongan-dorongan yang alami ( dorongan makan, seks, mempertahankan diri, dll). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri, maka tidak ada bedanya ia dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah kearah atatus manusiawi. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik, tatapi dalam pelaksanaannya mungkin saja bias terjadi kesalahan-kesalahan yang lazimnya disebut salah didik. Hal demikian bisa terjadi karena pendidik itu adalah manusia biasa, yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan.
1.   Pengembangan utuh
Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan/pelayanana atas perkembangannya. Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi pendidikan.
Pengembangan yang utuh dapat dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:
a.  Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.
b.  Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
2.    Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun dominan afektif didominasi oleh pengembangan dominan kognitif.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
2.4     Sosok Manusia Seutuhnya.
Sosok manusia seutuhnya telah dirumuskan dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangaka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Sosok manusia seutuhnya berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan, kesehatan, ataupun batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Manusia memiliki akal untuk menghadapi kehidupannya di dunia ini. Akal juga memerlukkan pendidikan sebagai obyek yang akan dipikirkan. Fungsi akal tercapai apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan obyeknya itu sendiri adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk peadagogis, makhluk social, makhluk individual, makhluk beragama.
Setiap manusia mempunyai hakekat dan dimensi yang dimilikinya. Dan dalam diri manusia itu terdapat potensi–potensi terpendam yang dapat ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
3.2 Saran
Sebagai calon guru kita seharusnya memperhatikan anak didik dan memberikan bimbingan agar potensi–potensi terpendam yang terdapat dalam diri peserta didik dapat ditumbuh kembangkan menuju kepribadian yang mantap.

3 komentar:

Hakekat Manusia Seutruhnya adalah kembali ke titik Nol, kembali ke awal maksud dan tujuan Tuhan YME menciptakan Manusia, sebagai wakil Nya diatas bumi, sebagai Khalifah, atau pemimpin yang transenden, kunjungi blog mahesakariban.wordpress.com

Posting Komentar